Perpustakaan, pustakawan dan kemajuan jaman
Pustakawan sekarang ini boleh mengatakan bahwa pekerjaan mereka tidak sekedar
menata buku tetapi memberikan akses informasi kepada masyarakat dalam berbagai
format. Karena pustakawan—seperti halnya orang lain—yakin bahwa dunia
perdagangan, komunikasi dan informasi sudah beralih ke format digital, mereka berjuang
memberikan akses internet—untuk mencegah agar tidak dianggap menjadi masyarakat
kelas-dua dalam dunia digital.
Suatu keanehan timbul dalam perjalanan menuju perpustakaan digital masa mendatang.
Bukannya menjadi penjaga kunci database pengetahuan universal, pustakawan semakin
mendapati diri mereka berada dalam peran yang berlebihan dan tidak diduga-duga
sebelumnya: mereka menjadi penyedia layanan dukungan teknologi yang ada pada urutan
bawah
Seharusnya memang tidak demikian. Perpustakaan masa kini menyediakan berbagai
media dan kegiatan sosiokultural—menjadi “blended libraries” menurut Kathleen Imhoff,
asisten direktur Broward County Library of Fort Lauderdale. Florida. Ada kecenderungan
bahwa perpustakaan mulai menyembunyikan bukunya di belakang dan menempatkan
komputer di bagian depan agar sense of atau rasa teknologi muncul dalam dunia
perpustakaan. Ada juga perpustakaan yang saat ini lebih banyak menyediakan anggaran
untuk koleksi digital dari pada koleksi cetak. Tidak hanya itu perpustakaan juga
berlomba-lomba menyediakan layanan yang semakin bertambah seperti layanan akses Page 2
internet, layanan multimedia dan sebagainya. Namun demikian, masih ada juga
perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan buku-buku yang serba sedikit dan dengan
fasilitas yang sangat minimal pula. Namun kedua macam perpustakaan tersebut sama-
sama lakunya, hanya pasarnya berbeda.
Apa yang menarik dari fenomena tersebut adalah: terjadinya digital divide. Ada gap
teknologi antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Demikian pula di sisi
pemakainya. Digital divide atau perbedaan kemampuan pemanfaatan teknologi informasi
terjadi pada saat ini antara satu orang dengan orang lain tanpa batasan usia maupun
profesi..
Setiap ada seminar atau pelatihan bertemakan perpustakaan digital, sering timbul keluhan
dari peserta bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap teknologi informasi atau
mereka tidak memiliki fasilitas teknologi informasi tersebut. Hal ini menggambarkan
bahwa ada gap pula di antara para pemikir dan pengembang perpustakaan bahwa di
antara para pustakawan sendiri juga terjadi gap kemampuan teknologi informasi.
Gambaran yang menarik dan perlu dicermati adalah adanya beberapa pustakawan yang
kemudian menyikapi perkembangan teknologi informasi ini sebagai suatu lahan baru
dalam pengembangan perpustakaan. Ada pustakawan yang mengembangkan software
perpustakaan yang sudah ada dan kemudian dipasarkan ke perpustakaan; ada pustakawan
yang membuat software dan memasarkan kepada perpustakaan. Ada pula yang melihat
teknologi informasi sebagai suatu hal yang HARUS dimiliki untuk mengubah image
perpustakaan. Tidak kalah penting juga untuk dicermati oleh para pengajar bidang ilmu
perpustakaan adalah munculnya perpustakaan digital. Para pustakawan kadang-kadang
tidak dapat membedakan antara automasi perpustakaan dengan perpustakaan digital
sehingga automasi sering diidentikkan dengan perpustakaan digital. Tugas para pengajar
bidang ilmu perpustakaan adalah meluruskan kembali peran pustakawan sebagai penjaga
informasi dan ilmu pengetahuan. Demikian halnya para mahasiswa di bidang ilmu
perpustakan perlu mencermati kembali perkembangan-perkembangan yang terjadi saat
ini dan mgenevaluasi diri dimana posisi diri sendiri tersebut. Page 3
Barangkali akan sangat penting bagi para akademisi di kampus untuk memikirkan
kembali peran pustakawan dalam bidangnya dan meningkatkan image perpustakaan
sehingga akan lebih banyak orang memanfaatkan perpustakaan.
Ada beberapa tantangan dalam dunia kepustakawanan yang saat ini muncul. Tantangan
tersebut dapat memacu maupun menghambat perpustakaan di Negara ita:
Tantangan pertama: Web 2.0
Saat ini pemanfaatan internet telah sangat banyak. Bahkan dalam suatu survey, terlihat
anak-anak sekarang akan memprioritaskan internet sebagai alat Bantu dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekola ataupun perkuliahannya. Dengan kata lain, internet
telah menjadi fasilitas utama penunjang pendidikan dan mengesampingkan adanya
perpustakaan. Fenomena ini juga semakin terlihat di Indonesia dimana semakin bangak
anak-anak yang menggunakan internet sebagai alat Bantu untuk menyelesaikan tugas
atau pekerjaan rumah.
Sementara itu, internet pun juga terus berkembang dan saat ini masyarakat telah banyak
memanfaatkan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagi
pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagi audio dan sebagainya*.
Sebagian perpustakaan juga telah mulai menerapkan web 2.0 agar fasilitas dan informasi
mereka dapat dengan mudah diketahui oleh para penggunanya. Web 2.0 merupakan
pengembangan internet sebagai media untuk bersosialisasi dengan sesame serta untuk
berbagi. Dalam kaitan dengan perpustakaan, web 2.0 dapat digunakan misalnya untuk
lebih menjelaskan tentang isi katalog. Dengan berbasis web 2.0 maka katalog yang
dulunya hanya berisi informasi serba sedikit tentang sebuah buku, kini informasinya jauh
lebih bermanfaat dari sebelumnya, karena katalog ini dilengkapi dengan daftar isi buku,
review dan lain sebagainya; bahkan orang yang pernah membaca buku tersebut dapat
pula menambahkan informasi tentang buku tersebut. Page 4
walaupun saat ini para pustakawan Indonesia masih berbicara tentang perpustakaan
digital** dengan berbagai seluk beluknya dan semoga dalam waktu yang tidak terlalu
lama akan pula masuk dalam kancah web 2.0 dan library 2.0. Dan tentu saja masih ada
berbagai kemajuan web 2.0 yang dapat diterapkan di perpustakaan.
Untuk dapat maju dan sejajar dengan para pustakawan di negara lain, kita harus berani
tampil dalam dunia kepustakawanan yang berwawasan multidisiplin dan multi-skills.
Tantangan kedua: peran-peran baru kepustakawanan
Beberapa waktu yang lalu saya sempat bertemu dengan Jeffrey Trzeciak, kepala
Perpustakaan McMaster University. Saya bertemu beliau dalam suatu forum di China.***
Beliau mengatakan telah mengangkat 7 pustakawan baru yaitu (1) gaming librarian, (2)
digital strategist, (3) digital technologist, (4) e-resources librarian, (5) archivist librarian,
(6) marketing and communication librarian, (7) teaching and learning librarian. Ketujuh
posisi tersebut dijabat oleh para pustakawan dan berlatar belakang pustakawan juga.
Bagaimana dengan kita? Beranikah kita merancang peran-peran baru dalam
kepustakawanan? Ataukah kita akan tetap terbelenggu dengan rutinitas sesuai yang
tertulis pada jabatan fungsional pustakawan?
Tantangan ketiga: masyarakat yang alliterate
Tantangan ketiga merupakan tantangan klasik yang terutama kita hadapi dalam dunia
sehari-hari. Walaupun selalu saja banyak perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan
mereka selalu ramai dikunjungi oleh para pemakainya, namun perlu ditelusuri lebih
lanjut, berapa persen dari masyarakat tersebut yang telah memanfaatkan perpustakaan.
Angka statistic yang besar tidak akan ada artinya bila pembaginya sangat besar.
Pengembangan minat baca memang harus dilakukan dari kecil dan jangan sampai
terputus di tengah jalan. Untuk itulah kita perlu memikirkan juga para pustakawan yang
bekerja di sekolah-sekolah (SD, SMP, dan SMA) agar perjuangan mereka bisa lebih
diargai dan mendapatkan apresiasi yang lebih baik lagi. Usia sekolah merupakan critical
ages untuk mengembangkan minat baca, sehingga pustakawan harus mendapatkan
dukungan dalam rangka meningkatkan minat baca tersebut. UNESCO telah Page 5
mengeluarkan berbagai bacaan tentang literasi yang sangat baik untuk dipelajari oleh
para pustakawan.****
Tantangan keempat: membangun pustakawan yang komunikatif dan
berpengetahuan
Tantangan ini ada di dunia kampus dan setelahnya. Para pengajar dan pembelajar akan
sangat baik kalau bisa mempertimbangkan para calon pustakawan tersebut tidak hanya
memiliki ketrampilan dalam bidangnya saja, tetapi juga mampu berbicara pada forum-
forum yang mungkin berawal dari kampus dan kemudian masuk ke tingkat lokal,
nasional dan internasional. Sasya merasakan betapa sedikitnya pustakawan kita yang
berperan serta dalam kancah internasional. Dua kali saya mempresentasikan makalah di
konferensi perpustakaan internasional yang diselenggarakan di Malaysia, tetapi tak satu
pun pustakawan Indonesia mengikutinya. Juga di forum IFLA, misalnya, lebih berperan
sebagai peserta dan itupun didominasi oleh Perpustakaan Nasional, sedangkan presenter
dari Indonesia hanya satu.orang saja. Pada pertemuan kongres internasional ALA dua
bulan lalu beberapa pustakawan ramai ramai menulis satu makalah yang lolos karena
penulis utamanya adalah orang Amerika sendiri.
Penutup
Singkatnya, para pustakawan saat ini dihadapkan pada suatu wacana digital yang mana
pustakawan tidak boleh terjebak sebagai seorang ahli atau teknisi dalam dunia
informatika. Pustakawan adalah pustakawan—hanya saja saat ini memiliki peran yang
lebih besar karena adanya kemajuan dalam teknologi informasi.
Selain itu, tantangan-tantangan baru seperti hadirnya web 2.0 yang diikuti dengan library
2.0 serta tantangan lain: peran baru pustakawan, aliterasi di masyarakat, dan pustakawan
yang harus komunikatif dan sejajar dengan profesi lainnya haruslah menjadi tantangan
yang perlu direspon secara positif oleh para pustakawan di masa mendatang.
Selamat mengikuti pendidikan kepustakawanan dan tunjukkan diri kita sebagai
pustakawan yang berani tampil beda
sumber : http://d2n-7.blogspot.com/2009/03/tantangan-baru-dunia-kepustakawanan.html